Hari: 13 Mei 2025

Kemenkop UKM Beri Solusi Bisnis Agregasi untuk Wastra & Kriya

Kemenkop UKM Beri Solusi Bisnis Agregasi untuk Wastra & Kriya

Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) mengambil langkah strategis untuk mengembangkan sektor wastra dan kriya Indonesia melalui model bisnis agregasi. Inisiatif ini bertujuan untuk mengakselerasi ekspor dan memperkuat keberlanjutan usaha para pengrajin di tengah persaingan pasar yang semakin ketat.

Model bisnis agregasi dipandang sebagai solusi efektif untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi UMKM wastra dan kriya. Melalui model ini, para pengrajin dapat memperoleh manfaat berupa transfer pengetahuan, teknologi, akses pembiayaan, dukungan pengelolaan usaha, hingga akses pasar yang lebih luas. Dengan demikian, diharapkan tercipta standardisasi kualitas produk, pola produksi yang terencana, peningkatan skala ekonomi, dan kepastian pasar.

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, menekankan bahwa bisnis agregasi memiliki peran strategis dalam menjaga eksistensi dan keberlanjutan bisnis wastra dan kriya di Indonesia. Sinergi dengan berbagai pihak, termasuk agregator yang telah terkurasi, diharapkan dapat membangun ekosistem yang kuat dan berdaya saing.

Lebih lanjut, model bisnis agregasi juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekspor produk kriya Indonesia. Data menunjukkan bahwa nilai ekspor produk kriya pada tahun 2021 mencapai 1,5 miliar dolar AS, dan terus menunjukkan tren positif. Dengan dukungan model bisnis ini, diharapkan semakin banyak produk wastra dan kriya Indonesia yang mampu menembus pasar global.

Kemenkop UKM juga berupaya mempertemukan UMKM kriya dan wastra dengan para agregator melalui berbagai program dan acara, seperti “Cerita Nusantara”. Inisiatif ini menjadi wadah bagi para pengrajin untuk memamerkan produk unggulan, membangun jaringan, dan menjalin kolaborasi yang saling menguntungkan. Dengan demikian, bisnis agregasi diharapkan tidak hanya menciptakan nilai ekonomi baru, tetapi juga melestarikan warisan budaya Indonesia.

Selain itu, Kemenkop UKM juga mendorong pemanfaatan platform digital dan e-commerce dalam model bisnis agregasi ini. Dengan demikian, jangkauan pasar produk wastra dan kriya Indonesia diharapkan tidak hanya terbatas pada pasar konvensional, tetapi juga merambah konsumen global secara lebih efektif.

Semoga artikel ini dapat memberikan informasi dan manfaat untuk para pembaca tentang semua yang terjadi di Indonesia, terimakasih !

Efektivitas Sistem Pemasyarakatan: Mampukah Mencegah Kejahatan Berulang?

Efektivitas Sistem Pemasyarakatan: Mampukah Mencegah Kejahatan Berulang?

Sistem pemasyarakatan memiliki mandat ganda: menghukum pelaku kejahatan dan merehabilitasi mereka agar tidak kembali melakukan pelanggaran hukum. Namun, pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah, seberapa efektifkah sistem ini dalam mencegah kejahatan berulang atau residivisme? Menjawab pertanyaan ini memerlukan analisis mendalam terhadap berbagai aspek, mulai dari filosofi pemasyarakatan hingga implementasi program rehabilitasi di lapangan.

Idealnya, lembaga pemasyarakatan (lapas) berfungsi sebagai tempat pembinaan yang memberdayakan narapidana untuk menjadi individu yang lebih baik dan produktif setelah bebas. Program-program seperti pendidikan, pelatihan keterampilan, bimbingan kerohanian, dan terapi psikologis dirancang untuk mengatasi akar permasalahan yang menyebabkan perilaku kriminal. Dengan membekali narapidana dengan pengetahuan, keterampilan, dan perubahan pola pikir, diharapkan mereka memiliki alternatif yang lebih baik daripada kembali ke jalan kejahatan.

Namun, realitas di lapangan seringkali jauh dari ideal. Beberapa tantangan signifikan menghambat efektivitas sistem pemasyarakatan dalam mencegah residivisme. Overkapasitas menjadi masalah kronis di banyak lapas, menyebabkan kondisi hidup yang tidak layak, kurangnya pengawasan yang efektif, dan terbatasnya akses narapidana terhadap program rehabilitasi. Lingkungan lapas yang keras dan penuh tekanan juga dapat kontraproduktif terhadap upaya rehabilitasi, bahkan berpotensi memperburuk kondisi psikologis narapidana.

Selain itu, kualitas dan relevansi program rehabilitasi juga menjadi perhatian. Program yang tidak sesuai dengan kebutuhan narapidana atau tidak membekali mereka dengan keterampilan yang dibutuhkan di dunia luar kemungkinan besar tidak akan efektif. Kurangnya sumber daya, baik finansial maupun sumber daya manusia yang kompeten, juga menjadi kendala dalam implementasi program yang berkualitas.

Tingkat residivisme di banyak negara menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan belum sepenuhnya berhasil dalam mencegah kejahatan berulang. Berbagai faktor di luar sistem pemasyarakatan juga turut berkontribusi terhadap residivisme, seperti stigma sosial terhadap mantan narapidana, kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat.

Meskipun demikian, bukan berarti sistem pemasyarakatan tidak memiliki potensi untuk mencegah residivisme. Lapas yang berhasil menerapkan program rehabilitasi yang komprehensif dan berorientasi pada kebutuhan narapidana menunjukkan hasil yang lebih baik dalam mengurangi tingkat pengulangan kejahatan. Pendekatan yang holistik, melibatkan berbagai pihak seperti keluarga, masyarakat, dan lembaga terkait, juga terbukti lebih efektif dalam mendukung reintegrasi narapidana ke masyarakat.